Jumat, 11 November 2011

''Ijma''


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat  kekuatan argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
Terkait dengan ijma’ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari itu kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi ijma’?
2.      Apa saja Syara-syarat ijma’?
3.      Bagaimana Kehujjaan ijma’?
4.      Apa macam-macam ijma’?
5.      Bagaimana pelaksanaan ijma’ dimasa sekarang?
1.4 Tujuan Pembahasan
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami landasan hukum islam seperti ijma’ yang telah disepakati oleh para mujtahit yang dijadikan sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadits.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Al-Ijma’
            Ijma’ secara bahasa memiliki dua makna, tekad, rencana dan kesepakatan.. Allah berfirman:
* ã@ø?$#ur öNÍköŽn=tã r't6tR ?yqçR øŒÎ) tA$s% ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ÉQöqs)»tƒ bÎ) tb%x. uŽã9x. /ä3øn=tæ ÍG$s)¨B ÎŽÏ.õs?ur ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# n?yèsù «!$# àMù=ž2uqs? (#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur ¢OèO Ÿw ô`ä3tƒ öNä.áøBr& ö/ä3øn=tæ Zp£Jäî ¢OèO (#þqàÒø%$# ¥n<Î) Ÿwur ÈbrãÏàZè? ÇÐÊÈ  
"dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.{Qs. Yunus (10): 71)}
            Atau bulatkanlah tekadmu. Makna kedua berarti kesepakatan. Apabila suatu kaum melakukan ijma’, maka mereka berarti telah mencapai kesepakatan.
            Ijma’ menurut syara’ ialah suatu kesepakatan bagi orang-orang yang susah payah dalam menggali hukum-hukum agama (mujtahid) di antara umat Muhammad SAW, sesudah beliau meninggal dalam suatu masa yang tidak ditentukan atau suatu urusan (masalah) di antara masalah-masalah yang diragukan  (yang belum ada ketetapannya dalam kitab dan sunnah).[1]
            Adapun arti Ijma’ menurut istilah ulama’ ushul adalah kesepakatan para mujtahidin dari kalangan umat nabi Muhammad, setelah baginda Rasulullah wafat pada suatu zaman tertentu terhadap sebuah permasalahan hukum syar’i.[2]
            Menurut Imam Syafii Ijma’ adalah “kesepakatan para ulama’ (ahl al-‘ilm) tentang suatu hukum syari’ah.” ahl al-‘ilm yang imaksud ialah para ulama yang dianggap sebagai faqih dan fatwa serta keputusannya diterima oleh penduduk di suatu negeri.[3]
 2.2 Syarat-syarat Ijma’
            Memperhatikan definisi dari Ijma’, ada beberapa hal yang harus ada sebagai syarat terwujudnya sebuah Ijma’, sebagai berikut:
    a. Terjadinya kesepakatan terhadap suatu hukum syar’i oleh para mujtahid, dan tidak dianggap Ijma’ jika bukan dari para mujtahidin, baik dari muqallidin atau orang awam.
    b. Harus disepakati oleh semua mujtahid karena definisi mengisyaratkan semua mujtahid, maka kesepakatan sebagian tidak bisa dikatakan Ijma’ karena masih ada sebagian yang belum setuju dan bisa jadi kebenaran ada di pihak mereka.
    c. Hendaknya kesepakatan para ulama’ mujtahid terjadi setelah Rasulullah wafat, sebab kesepakatan sezaman baginda Rasulullah masih hidup tidak dianggap karena kekuasaan memberi syariat ada di tangan Rasul. Dan jika para sahabat sepakat melakukan sesuatu lalu didiamkan oleh Rasulullah maka itulah yang dinamakan sunnah taqririyah dan jika tidak setuju maka batallah Ijma’ mereka.
   d. Ijma’ harus terjadi pada suatu zaman saja dan tidak disyaratkan harus sepanjang tahun sampai hari kiamat karena hal ini sangat mustahil.[4]
Ijma’ tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Jumhur ulama’ mengatakan, Ijma’ harus ada sanad yang dijadikan dalil sebagai rujukan oleh para mujtahidin dalam menentukan hukum syar’i bagi masalah yang mereka hadapi. Sanadnya ijma’ dapat berupa dalil qath’i, yaitu nash al-Qur’an, sunnah dan hadits mutawatir, dan berupa dalil zhanni yaitu hadits ahad dan qiyas.[5]
2.3 Kehujjahan Ijma’
            Apabila sudah terjadi ijma’, maka ijma’ itu menjadi hujjah yang qath’i. Kebulatan pendapat segala mujtahid atas suatu hukum yang tertentu, meskipun berbeda lingkungan dan alirannya tanpa diragukan lagi menunjukkan adanya satu kebenaran yang telah membawa kebulatan pendapat mereka. Kbenaran tersebut ialah karenacocoknya hukum itu dengan jiwa syariat dan dasar-dasarnya yang umum.[6]
Ijma’ itu menjadi hujjah (pegangan) dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni al-qur’an dan al-hadits. Dan tidak menjadi ijma’ kecuali telah disepakati oleh semua ulama’ islam dan selama tidak menyalahi nash yang qath’i (kitabullah dan hadits mutawatir). Kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa nilai kehujjahn ijma’ ialah dhanni, bukan qath’i. Oleh karena nilai ijma’ itu dhanni maka ijma’ itu dapat dijadikan hujjah (dipegangi) dalam urusan amal, bukan dalam urusan i’tiqad sebab i’tiqad mesti dengan dalil qath’i.[7]
Al-Syafi’i menegaskan bahwa ijma’ merupakan dalil yang kuat, serta pasti, serta berlaku secara luas, pada semua bidang.
Ijma’ adalah hujjah atas segala sesuatunya karena ijma’ itu tidak mungkin salah
            Sesuatu yang telah disepakati oleh generasi terdahulu, walaupun mereka tidak mengemukakan dalil kitab atau sunnah, dipandangnya sama dengan hukum yang diatur berdasarkan sunnah yang telah disepakati. Kesepakatan atas suatu hukum menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata-mata bersumber dari ra’yu (pendapat), karena ra’yu akan selalu berbeda-beda.
            Untuk menegakkan kehujjahan ijma’ seperti dijelaskan dalam Q.S. Al-Nisa’: 115), yang berbunyi:
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ  
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali
            Ayat ini jelas menyatakan ancaman terhadap orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Menurut Syafi’i orang yang tidak mengikuti ijma’ berarti telah mengikuti jalan lain, selain jalan orang mukmin. Jadi, orang yang tidak mengikuti ijma’ mendapat ancaman dari Allah Swt. Dengan demikian jelas bahwa ijma’ wajib diikuti dan karena itu ijma’ adalah hujjah.[8]
            Bukti atas kehujjahannya ijma’ adalah seperti berikut[9]:
Pertama: dalam Al-Qur’an allah telah memerintahkan ta’at kepada ulil amri di antara umat islam sebagaimana perintah kepada mukminin mentaati Allah SWT dengan Rasul-Nya, seperti firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  

“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. Al-Nisa’: 59)
Lafal amri artinya ialah hal atau keadaan, yang meliputi hal-hal duniawi. Dan Ulil Amri ialah para pemimpin dan penguasa (tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan). Ijma’ ialah keputusan yang diambil oleh wakil-wakil rakyat yang mewakili segala lapisan rakyat untuk memperkatakan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka itulah yng dinamakan ulil amri. Mereka diberi diberi hak oleh syariat islam untuk membikin undang-undang/ peraturan-peraturan dengan memperhatikan kepentingan rakyat.[10] maka apabila ulil amri yakin para mujtahid telah mengadakan ijma’ atas suatu hukum, maka wajib diikuti dan dilaksanakan hukum mereka berdasarkan nash al-Qur’an.
Kedua: bahwasanya suatu hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua Mujtahid ummat islam, pada hakikatnya adalah hukum umat islam yang diperankan oleh para mujtahidnya. Ada beberapa hadist Rasul yang menunjukkan atas terpeliharanya umat dari kesalahan
apa yang dilihat oleh umat islam sebagai baik, maka menurut allah itu juga baik”.
Hal itu tentu saja menurut kesepakatan semua mujtahid atas satu hukum mengenai suatu kejadian berdasar perbedaan pandangan mereka, karna perbedaan mereka adalah sebagai bukti atas kesatuan hak dan kebenaran (menyatukan pendapat) mereka, dan menyalahkan (menyisihkan) faktor-faktor perbedaan mereka.
            Ketiga: ijma’ atas hukum syar’i itu harus disandarkan kepada tempat bersandar syar’i, karena Mujtahid islam itu mempunyai batas-batas yang tidak boleh di lampaui olehnya. Ijma’ itu berlaku untuk mencari hukum bagi suatu kejadian, maka juga bisa digunakan untuk menakwili nash dan menafsirinya, dan juga untuk illat hukum nash, serta menjelaskan keadaan yang berhubungan dengannya.
2.4 Macam-Macam Ijma’
Ijma’ memiliki dua jenis; yaitu sharih dan sukuti.
Ijma’ sharih adalah kesepakatan para mujtahid yang secara jelas terhadap sebuah hukum syar’i bagi sebuah permasalahan yang mereka hadapi. Ijma’ seperti ini menjadi hujjah yang pasti menurut penilaian mayoritas fuqaha, mereka menamakannya sebagai azimah karena ia adalah sesuatu yang asal  (orisinal) dalam ijma’
Ijma’ sukuti (diam) terwujud jika sebagian mujtahid mengeluarkan pendapat atau fatwa terhadap sebuah masalah yang muncul, dan tidak ada pendapat dari mujtahid yang lain, baik berupa persetujuan atau sangkalan, para ahli ijtihad diam. Diam disini dianggap menyetujui. Ada syarat terjadinya ijma’ sukuti, yaitu berlakunya sekian waktu yang memungkinkan para mujtahid lain untuk menuangkan pendapatnya dalam masalah tersebut dan setelah ditunggu ternyata tidak ada, dan tidak pula ada kendala teknik, baik karena takut atau sungkan, serta tidak ada sinyal-sinyal ungkapan persetujuan atau penentangan dari para mujtahid yang lain. Ijma’ ini juga menjadi hujjah menurut mayoritas ulama’. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang jenis hujjah-nya, ada yang mengatakan pasti dan tidak ada bedanya antara yang sharih dengan yang sukuti. Ada pula yang mengatakan zhanni karena diam bukan merupakan sesuatu yang menunjukkan setuju, bisa jadi karena takut atau sungkan.[11]
Menurut golongan hanafiyah kedua macam ijma’ tersebut adalah ijma’ yang sebenarnya. Menurut imam syafii hanya ijma’ yang pertama saja yang disebut ijma’ yang sebenarnya.
2.5. Kemungkinan Pelaksanaan Ijma’ di Era Sekarang
            Ada sebagian ulama’ yang menganggap bahwa ijma’ itu tidak mungkin terjadi. Mengingat wilayah islam yang begitu luas serta tersebarnya para ulama’ di berbagai kota yang berjauhan. Suatu masalah tidak mungkin sampai kepada setiap ulama’ sehingga tidak mungkin ada kesatuan pendapat diantara mereka. Kemudian, perbedaan latar belakang kepentingan, dan tingkat kecerdasan mereka, tidak memungkinkan mereka bersepakat mengenai suatu masalah yang zhanni (tidak pasti).[12] Hal yang menguatkan bahwa ijma’ tidak mungkin diwujudkan yaitu jika ijma’ itu diwujudkan , tentu harus disandarkan kepada dalil, karena mujtahid syar’i harus menyandarkan hasil ijtihadnya kepada dalil. Dan bila dalil yang dijadikan sandaran itu qoth’i, maka diantara hal yang mustahil menurut adat, jika dalil itu disembunyikan. Dan jika berupa dalil zhonni tentu mustahil menurut kebiasaan ijma’, karena dalil zhonni tentu menjadi objek pertentangan.[13]
            Imam Al-Haramain mengatakan bahwa ijma’ itu dapat saja terjadi, khususnya mengenai hal-hal penting yang disertai dengan faktor-faktor tertentu. Yang mendorong pembahasan dan terwujudnya kesepakatan itu. Misalnya, persoalan-persoalan yang mendasar dalam agama., sehingga setiap orang seolah-olah terikat dan tidak terlepas dari dirinya. Untuk masalah-masalah kecil yang kurang penting atau kurang menarikperhatian ijma’ itu tidak mudah tercapai setelah para ulama’ tersebar ke berbagai penjuru. Jadi, untuk masa sekarang tidak mudah mengatakan adanya kesepakatan tentang hal-hal yang zanni. Ijma’ telah ada sejak masa sahabat  ketika tempat mereka masih belum terlalu berjauhan.[14] Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ tidak mungkin dapat terwujudkan secara adat, apabila persoalannya diserahkan kepada masing-masing umat dan kelompok-kelompoknya. Ijma’ itu dapat terwujudkan apabila dipimpin oleh pelbagai pemerintahan islam. Jadi setiap pemerintahan islam bisa menentukan syarat-syarat yang dengan syarat-syarat itu seseorang dapat sampai ke derajat ijtihad, dan bisa memberikan izin ijtihad kepada orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut.[15]
            Al-syafii secara tegas mengatakan bahwa ijma’ telah banyak terjadi, khususnya mengenai kewajiban-kewajiban yang harus diketahui oleh semua orang. Ia hanya menggunakan kata ijma’ untuk masalah yang benar-benar diketahui secara luas sebagai hal yang disepakati.[16]
            Ijma’ yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan ijma’ dari keputusan musyawarah yang diambil oleh para ulama’ yang mewakili segala lapisan masyarakatnya untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka itulah yang dinamai ulil amri atau ahlul halli wal’aqdi. Mereka diberi hak oleh syariat islam untuk membuat undang-undang yang belum terdapat dalam syara’. Keputusan mereka wajib ditaati dan dijalankan selama tidak bertentangan  dengan nash syariat yang jelas, tetapi kalau berlawanan dengan nash syari’at betapa dan bagaiman pun juga keputusan itu tetap batal.[17] 
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN                                      
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum (ijma’)
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.
Seperti ijma’ sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan Syafi’I memandang bahwa ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai ijma’.
Sedangkan segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø  Bakry, Nazar, Drs. 1993. “Fiqh dan Ushul Fiqh”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ø  Hanafie, A. M.A. 1963. Ushul Fiqh. Jakarta: WIDJAYA.
Ø  Hasan, Ahmad.1985. Ijma’ Ahmad Hasan . Bandung : Pustaka.
Ø  Khalil, Rasyad Hasan, Dr. 2009. Tarikh Tasyri’. Jakarta: AMZAH.
Ø  Khallaf, Abdul Wahab. 1989. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ø  Nasution, Lahmuddin, Dr. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rifai, Moh. Drs. 1973. Ushul Fiqh. Bandung: PT Al-Ma’arif



[1] Drs. Nazar Bakry. “Fiqh dan Ushul Fiqh”. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1993). Hal. 50-51
[2] Dr. Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’. (Jakarta: AMZAH. 2009). Hal. 154-155.
[3] Dr. Lahmuddin Nasution. Pembaruan Hukum Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001). Hal.86
[4] Abdul Wahab Khallaf. Kaidah-kaidah Hukum Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1989). Hal. 64-66.
[5] Dr. Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’. (Jakarta: AMZAH. 2009). Hal. 158.
[6] A. Hanafie M.A. Ushul Fiqh. (Jakarta: WIDJAYA. 1963). Hal. 126.
[7] Drs. Moh Rifai. Ushul Fiqh. (Bandung: PT Al-Ma’arif. 1973). Hal. 129.
[8] Dr. Lahmuddin Nasution. Pembaruan Hukum Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001). Hal. 89.
[9] Abdul Wahab Khallaf. Kaidah-kaidah Hukum Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1989). Hal. 67-70
[10] A. Hanafie M.A. Ushul Fiqh. (Jakarta: WIDJAYA. 1963). Hal. 128.
[11] Dr. Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’. (Jakarta: AMZAH. 2009). Hal. 156-157.

[12] Dr. Lahmuddin Nasution. Pembaruan Hukum Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001). Hal. 92.
[13] Abdul Wahab Khallaf. Kaidah-kaidah Hukum Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1989). Hal. 71.
[14] Dr. Lahmuddin Nasution. Pembaruan Hukum Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001). Hal. 93-94.
[15] Abdul Wahab Khallaf. Kaidah-kaidah Hukum Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1989). Hal. 72.
[16] Dr. Lahmuddin Nasution. Pembaruan Hukum Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001). Hal. 94.
[17] Drs. Moh Rifai. Ushul Fiqh. (Bandung: PT Al-Ma’arif. 1973). Hal. 132-133.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar